Ende dan Bukit "New Zealand" nya

Perjalanan dari Kelimutu ke Ende memakan waktu kurang lebih 2 jam, dan saya pun molor alias tidur. Bangun-bangun, clingkuk’an melihat ke arah jalan dan mencoba-coba mencari plang yang bertuliskan nama kota, apakah sudah sampai atau belum, ehh ternyata sudah di Ende.
Tiba di Ende waktunya makan siang tentunya. Pilihan tempat makan akhirnya jatuh di sebuah tempat makan sederhana.
Ini dia tempat makannya
Masakannya sih biasa saja, dari daun ketela yang diberi parutan kelapa dan nasinya beras merah. Itu sudah ”nendang” banget. Kalau dirumah dikasih menu seperti ini, saya nggak bakalan makan hahaha. Kokinya pun masih anak-anak yang masih sekolah lho, saya sih nggak nanya dia kelas berapa, dan beberapa suster juga terlihat bergabung dengan mereka. Dan ternyata, beberapa dari mereka ada yang yatim piatu, sehingga diasuh oleh suster-suster tadi.
Menu makannya nyummyy
Liat sendoknya, lucu kan
Dan setelah selesai, kita langsung menuju ke rumah pengasingan Bung Karno.
Waktu kita datang, pagar rumah terkunci sehingga kita harus puas hanya dengan memotret dari luar pagar. Dan menurut bapak-bapak di rumah sebelah, si penjaganya lagi pulang, huhuhu. Kita pun inisiatif akan ke lapangan yang terdapat Patung Bung Karno dan pohon beringin yang bersejarah itu, dimana Bung Karno ”melahirkan” Pancasila.
Rumah Pengasingan Bung Karno di Ende
Pas kita sudah naik bis, ehh tiba-tiba pintu pagar dibuka sama si penjaga. Cepat banget datangnya, mungkin dihubungi sama bapak barusan.
Ini beberapa foto di bagian dalam rumah Bung Karno :



Kamar tidur mertua & anak angkat Bung Karno
Tongkat Bung Karno
Sumur di bagian belakang rumah
Barang-barang yang kerap digunakan oleh Bung Karno seperti tongkat, setrika model kuno, tempat tidur bung Karno, semua ada disana. Senang rasanya bisa melihat dan mengunjungi rumah Bapak Proklamator Indonesia ini.
Puas di rumah pengasingan Bung Karno, perjalanan segera dilanjutkan menuju Riung.
Diperjalanan Ende – Riung ini, saya melewati pinggiran laut di sisi kiri, dan sisi kanannya sesekali adalah tebing kapur yang terlihat beberapa diantaranya longsor, sepertinya daerah ini memang rawan longsor. Nah, ini namanya daerah Nangapanda dan turunlah saya sejenak di Pantai Nangapanda ini.
Pantai Nangapanda dengan batunya yang biru
Dan baru kali ini saya mengetahui kalau batu-batu di pantai ini hampir semua berwarna biru, cantik-cantik. Ya kalau beruntung, mungkin akan nemuin batu yang bentuknya love, sayang pasirnya hitam.
Pas asik-asiknya saya menikmati pemandangan di sini, saya melihat seorang Bapak dan anaknya yang masih kecil mencari kayu. Entah kenapa kalau saya melihat pemandangan seperti ini suka mengabadikan di memory kamera dan memotretnya diam-diam. Terharu. Ya, terharu dengan perjuangan mereka. Sekilas saya langsung teringat dengan film-film Indonesia yang diproduksi oleh Nia Zulkarnaen dan Ari Sihasale yang senang mengangkat kehidupan sosial masyarakat Indonesia di daerah terpencil, padahal saya sendiri belum pernah liat filmya full, cuma dari behind the scene-nya aja waktu tayang di tv.

Bapak & seorang anaknya
Dan seperti biasa, saatnya untuk kembali molor, mengingat jarak tempuh dan waktu yang masih lama untuk tiba di Riung. Di tengah perjalanan, saya sempat terbangun dan melihat ke arah luar jendela bis, wow, pemandangan yang bikin mata saya melek sejenak. Kontur bukit yang luar biasa kerennya, jalanan yang naik turun lalu  naik dan turun lagi dan meliuk-liuk, langsung saja saya keluarkan kamera dan memotretnya dari dalam bis yang sedang melaju kencang itu. Sampai akhirnya bis berhenti di pom bensin dan saya baru tau kalau saya sedang berada di Nagekeo. Itupun saya baca dari spanduk kampanye pemilihan Bupati Nagekeo.
Pemandangan seperti ini yang bikin melek
Perjalanan terus berlanjut, tampak dari kejauhan sebuah puncak bukit menjulang tinggi. Semakin bis mendekat di jalanan terdekat dengan bukit itu, tampak jelas kontur bukitnya. Akhirnya diputuskanlah bis berhenti untuk ambil gambar sepuas-puasnya. Langsung bubar jalan, satu bis turun semua.
Bukit ini yang bikin narsis buat foto-foto
Astaga, viewnya keren banget. Ya, mungkin mirip dengan New Zealand. Padahal saya belum pernah kesana hehe. Dan ini saatnya untuk narsis sesuka hati.
Rombongan Happy Go Lucky

Comments

  1. Liat pantai nangapanda yg penuh batu kali nya bagus banget jadi pingin kesana :-)

    Kuliner nasi merah + ikan bakar nya bikin ngilerrrrr

    ReplyDelete
  2. ayo om cumilebay, main2 nya giliran ke tana flores sana :D

    ReplyDelete
  3. Flores nan keren ya mbak, sy baru numpang transit saja di Maumere. Ijin ikut menikmati postingan2 lainnya. Salam

    ReplyDelete
  4. salam kenal juga prih. Iya Flores nggak ada matinya, banyak kenangan, memorable banget. Mungkin lain waktu kita bisa ngetrip bareng :D

    ReplyDelete
  5. Indahnyaa :o
    Baca posting-posting di blog ini bikin iri! Salam kenal ya :)

    ReplyDelete
  6. Hai mb imaniar, salam kenal juga. Ayo mba jalan2 :D

    ReplyDelete
  7. Ya ampuunnnn emang cantik banget sih ya, itu bukit-bukitnya impian saya bangetttt..
    Pengen banget ke sana, namun entah kapan.
    Saking pengennya sampai teman-teman saya di Buton menanti saya mudik, soalnya di Buton ada lokasi kayak gitu, hanya saja enggak seluas padang di Ende ini sih :)

    Btw makanannya sederhana tapi bikin ngiler itu mah :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. aku penasaran pengen menginjakkan kaki di Buton, alamnya udah pasti cakep juga ya, apalagi ada lokasi bukit yang seperti ini.

      makanannya bener sederhana mba, aku kira di tanah Flores nggak ada makanan mirip mirip kayak di jawa begini, restorannya juga sederhana banget ini, saking sederhananya aku nggak ngira kalau toilet aja masih berlantai tanah waktu itu, dan dinding toilet dari bambu alias gedeg.

      Delete

Post a Comment

Terima kasih sudah mampir. Jangan lupa tinggalkan komentar biar saya senang